Bahasa Bugis
Pengertian bahasa bugis
Bahasa Bugis adalah salah satu
dari rumpun bahasa Austronesia yang digunakan oleh etnik Bugis di Sulawesi
Selatan, yang tersebar di sebagian Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep,
Kabupaten Barru, Kota Parepare, Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten
Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenreng
Rappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai,
sebagian Kabupaten Bulukumba, dan sebagian Kabupaten Bantaeng.
Bahasa Bugis terdiri dari
beberapa dialek. Seperti dialek Pinrang yang mirip dengan dialek Sidrap. Dialek
Bone (yang berbeda antara Bone utara dan Selatan). Dialek Soppeng. Dialek Wajo
(juga berbeda antara Wajo bagian utara dan selatan, serta timur dan barat).
Dialek Barru, Dialek Sinjai dan sebagainya.Ada beberapa kosa kata yang berbeda
selain dialek. Misalnya, dialek Pinrang dan Sidrap menyebut kata Loka untuk
pisang. Sementara dialek Bugis yang lain menyebut Otti atau Utti,adapun dialek
yang agak berbeda yakni kabupaten sinjai setiap Bahasa bugis yang mengunakan
Huruf "W" di ganti dengan Huruf "H" contoh; diawa di ganti
menjadi diaha.
Karya sastra terbesar dunia yaitu
I Lagaligo menggunakan Bahasa Bugis tinggi yang disebut bahasa Torilangi.
Bahasa Bugis umum menyebut kata Menre' atau Manai untuk kata yang berarti
"ke atas/naik". Sedang bahasa Torilangi menggunakan kata
"Manerru". Untuk kalangan istana, Bahasa Bugis juga mempunyai aturan
khusus. Jika orang biasa yang meninggal digunakan kata "Lele ri
Pammasena" atau "mate". Sedangkan jika Raja atau kerabatnya yang
meninggal digunakan kata "Mallinrung".
angka bahasa bugis
Nolo=Nol
Seddi=Satu
Duwa=Dua
Tellu=Tiga
Eppa=Empat
Lima=Lima
Enneng=Enam
Pitu=Tujuh
Aruwa=Delapan
Asera=Sembilan
Seppulo=Sepuluh
Seddi=Sebelas
Seppulo Duwa=Dua belas
Seppulo Tellu=Tiga belas
Seppulo Eppa=Empat belas
Seppulo Lima=Lima belas
Seppulo Enneng=Enam belas
Seppulo Pitu=Tujuh belas
Seppulo Aruwa=Delapan belas
Seppulo Asera=Sembilan belas
Duwappulo=Dua puluh
Duwappulo Seddi=Dua puluh Satu
Duwappulo Duwa=Dua puluh Dua
Duwappulo Tellu=Dua puluh Tiga
Tellupulo=Tiga puluh
Tellupulo Seddi=Tiga pulu Satu
Tellupolu Duwa=Tiga puluh Dua
Patappulo=Empat puluh
Limappulo=Lima puluh
Ennengpulona=Enam puluh
Pituppulo=Tujuh puluh
Aruwapulona=Delapan puluh
Aserapulona=Sembilan puluh
Siratu=Seratus
Pengucapan bahasa sunda
Proses morfologi yang menjadi fokus
dalam makalah ini adalah pembentukan kata melalui penyerapan atau peminjaman
kata dari bahasa Indonesia. Kata-kata ini muncul sebagai akibat dari pengaruh
bahasa Indonesia, juga karena beberapa hal dalam bahasa Bugis tidak memiliki
sebutan tersendiri sehingga untuk memaknainya harus mengadopsi kata dari bahasa
Indonesia. Kata-kata dalam bahasa bugis itu hanya berakhiran vokal, velar nasal
(ŋ), dan juga glottal plosive (?) sehingga kata yang berakhiran konsonan
berubah menjadi tiga kategori tadi atau bahkan konsonan tersebut dihilangkan.
Data berikut menunjukkan perubahan
terhadap kata yang berakhiran dengan fonem konsonan atau penghilangan konsonan
tersebut.
1.
–o
-o membentuk nomina
Motor
+
-o à
motoro
Kantor
+
-o à
kantoro
Kompor
+
-o à
komporo
Nomor
+
-o à
nomoro
Kasur
+
-o à
kasoro
Cindol
+
-o à
cindolo
Kopor
+
-o à
koporo
Obor
+
-o à
oboro
Kata yang berakhiran konsonan ditambahkan dengan vokal
–o karena mengikut pada vokal sebelumnya yaitu o.
2.
–a
Membentuk
nomina, verba, dan adjektiva
Sabar
+
-a à
sabbara
Kasar
+
-a à
kasara
Layar
+
-a à
layara
Gambar
+
-a à
gambara
Kamar
+
-a à
kamara
Kapal
+
-a à
kappala
Sambal
+
-a à
sambala
Putar
+
-a à
putara
Konsonan tidak terdapat pada akhir kata sehingga harus
diikuti oleh vokal. Vokal –a ditambahkan sesuai dengan vokal kedua dari kata
yaitu a
3.
–u
Membentuk nomina
Guntur
+
-u à
gunturu
Huruf
+
-u à
hurupu
Kakus
+
-u à
kakusu
Busur
+
-u à
busuru
Bubur
+
-u à
buburu
Data di atas menunjukkan bahwa, kata yang berakhiran
konsonan ditambahkan dengan vokal –u karena mengikut pada vokal sebelumnya
yaitu u .
4.
–e
Membentuk nomina
Liter
+
-e à
litere
Apel
+
-e à
apele
Meter
+
-e à
metere
Senter
+
-e à
sentere
Leter
+
-e à
lettere
Vokal –e ditambahkan pada kata yang berakhiran
konsonan dan disesuaikan dengan vokal sebelumnya yaitu e
5.
-ə
Membentuk nomina
Kipas
+
-ə à
kipasə
Kulkas
+
-ə à
kulkasə
Jilbab
+
-ə à
jilebabə
Bengkel
+
-ə à
bengkelə
Halal
+
-ə à
hallalə
Mimbar
+
-ə à
mimbarə
Kata yang berakhiran konsonan ditambahkan dengan vokal
–ə, tetapi tidak mengikut pada fonem vokal sebelumnya karena cokal sebelumnya
adalah a dan e.
6.
–i,
Membentuk adjektiva dan nomina
Kikir
+
-i à
kikkiri
Pikir
+
-i à
pikkiri
Cangkir
+
-i à
cangkiri
Zikir
+
-I à
sikkiri
Kata yang
berakhiran konsonan ditambahkan dengan vokal –i karena mengikut pada vokal
sebelumnya yaitu i.
7.
Kata satu
silabe
Kol
+
-u à
kolu
Es
+
-ə à
es ə
Tas
+
-ə à
tasə
Jas
+
-ə à
jasə
Bis
+
-ə à
bisə
Cas
+
-ə à
casə
Las
+
-ə à
lasə
Vokal yang ditambahkan pada akhir kata tidak mengikut
pada vokal sebelumnya sebagaimana pada kata yang terterah di atas karena itu
pengecualian untuk kata yang terdiri dari satu silabe.
8.
–ng
Kata yang diakhiri dengan konsonan
bilabial nasal /m/ akan luluh atau berubah bila bertemu dengan –ng
/ŋ/.
Jam
+
-ŋ à
jang
Jarum
+
-ŋ à
jarung
Helm
+ -
ŋ à
heleng
9.
–ng
Kata dasar yang mendapatkan –ng dengan satu
gejala fonologis yaitu apabila bertemu denga konsonan /n/ sehingga terjadi
perpaduan konsonan /n/, maka akan berubah menjadi /ŋ/.
Ban
+ -
ŋ à
Bang
Sabun
+ -
ŋ à
sabung
Lilin
+ -
ŋ à
liling
Gorden
+ -
ŋ à
gordeng
Galon
+ -
ŋ à
galong
10. Pengubahan
konsona
Kata yang diakhiri dengan konsonan
atau fonem /k/ maka akan berubah menjadi fonem /?/
Rok
à
ro?
Handuk
à
handu?
Tembok
à
tembo?
Becak
à
beca?
Botak
à
bota?
Cobek
à
cobe?
Tuak
à
tua?
Rujak
à
ruja?
Sama halnya dengan pengubahan fonem
/t/ bila beradah pada akhir kata maka akan menjadi /?/
Sikat
à
sika?
Dompet
à
dompe?
Jaket
à
jike?
Sumpit
à
sumpi?
Ketupat
à
katupa?
Dot
à
do?
11. Penghilangan
fonem akhir
Tidak hanya penambahan dan
pengubahan, juga terjadi penghilangan seperti pada kata-kata berikut ini yang
mengalami penghilangan pada kata yang memiliki fonem –h diakhir atau ditengah
kata.
Panah
à
pana
Tanah
à
tana
Salah
à
sala
Jahit
à
jai
Pahit
à
pai
Kaidah perubahan
Dari data di atas, dapat diambil
kesimpulan mengenai kaidah perubahan yang terjadi pada kata pinjaman dalam
bahasa Bugis yang terdiri atas empat bagian sebagai berikut.
1. Kata yang diakhiri dengan konsonan
akan ditambahkan vokal sesuai dengan vokal sebelum konsonan akhir, misalnya,
[motor] + [-o] menjadi [motoro], [sabar] + [-a] menjadi [sabbara], [kakus] +
[-u] menjadi [kakusu], [apel] + [-e] menjadi [apele], kecuali pada penambahan
vokal -ə yang bebas karena tidak mengikut pada vokal sebelum konsonan akhir,
misalnya [kipas] + [-ə] menjadi [kipase]. Dan begitupun dengan kata yang
terdiri dari satu silabe yang juga tidak mengikut pada vokal sebelum konsonan
akhir, misalnya [kol] + [-u] menjadi [kolu], [tas] + [-ə] menjadi [tasə].
2. Khusus untuk kata yang diakhiri
konsonan fonem velar plosif /k/ dan alveolar plosif /t/ tidak mengalami
penambahan melainkan berubah menjadi glottal plosif /?/, misalnya [handuk]
menjadi [handu?] dan [sikat] menjadi [sika?], sedangkan kata yang diakhiri
dengan fonem bilabial nasal /m/ dan alveolar nasal /n/ akan berubah
menjadi velar nasal /ŋ/ contohnya [jam] menjadi [jang] dan [sabun] menjadi
[sabung].
3. Kata yang diakhiri dengan fonem
glottal frikatif /h/ mengalami penghilangan pada fonem akhir tersebut, misalnya
[panah] menjadi [pana].
4. Secara segmental, kata pinjaman
tersebut yang tadinya bunyi tinggi berubah menjadi bunyi rendah karena dipengaruhi
oleh bunyi glottal plosif.
Kata yang mengalami keempat kaidah
di atas adalah kat-kata yang diakhiri dengan konsonan. Penyebab perubahan
itu didasarkan karena penutur bahasa Bugis tidak dapat menyebut konsonan
diakhir kecuali velar nasal dan glottal plosive sehingga perubahan terjadi
smelalui tiga tahap yaitu penambahan, pengubahan, dan juga penghilangan. Aksara
Bugis yang merupakan huruf Bugis yang disebut dengan Lontara, terdiri dari 23
huruf dan pengucapannya berakhir dengan bunyi /a/, tetapi memiliki tanda-tanda
tertentu yang dapat menimbulkan variasi bunyi. Variasi bunyi tersebut tidak
lain adalah bunyi vokal sehingga menyebabkan bahasa bugis hanya diakhiri oleh
vokal, velar nasal, dan glottal plosif. Oleh karena itu, kata yang diadopsi
dari pinjaman itu disesuaikan dengan lidah dan cara pengucapan orang Bugis.
Dari penjabaran di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahasa bugis merupakan bahasa yang
bersifat vokalik karena kata-kata yang terdapat dalam bahasa Bugis kebanyak
berakhiran dengan dengan vokal.
2. Bahasa Bugis mengadopsi atau
meminjam kata karena ada beberapa bagian yang ingin dimaknai tetapi tidak
memiliki bahasa sendiri, dan kata yang dipinjam itu disesuaikan dengan cara
pengucapan Bugis sehingga kata yang berakhiran dengan konsonan mengalami
penambahan vokal, pengubahan fonem, dan bahkan penghilangan konsonan.
3. Semua kata-kata pinjaman tersebut
yang berakhiran konsonan dibentuk oleh tiga kaidah yaitu, Kata yang diakhiri
dengan konsonan akan ditambahkan vokal sesuai dengan vokal sebelum konsonan
akhir, kecuali pada penambahan vokal -ə yang bebas karena tidak mengikut pada
vokal sebelum konsonan akhir dan begitupun dengan kata yang terdiri dari satu
silabe yang juga tidak mengikut pada vokal sebelum konsonan akhir. Khusus untuk
kata yang diakhiri konsonan fonem velar plosif /k/ dan alveolar plosif
/t/ tidak mengalami penambahan melainkan berubah menjadi glottal plosif /?/,
sedangkan kata yang diakhiri dengan fonem bilabial nasal /m/ dan
alveolar nasal akan berubah menjadi velar nasal /ŋ/. Tidak hanya penambahan
atau perubahan, juga terjadi penghilangan pada fonem akhir apabila kata
tersebut diakhiri dengan fonem glottal frikatif /h/.
4. Secara segmental, kata pinjaman
tersebut yang tadinya bunyi tinggi berubah menjadi bunyi agak rendah karena
dipengaruhi oleh bunyi glottal plosif.
Aksara Sunda

LONTARAQ DAN AKSARA LONTARA, SULAWESI SELATAN
Lontaraq adalah sebutan naskah bagi rakyat Sulawesi Selatan. Kata ini diambil dari bahasa Jawa/Melayu yaitu lontar atau palem tal (Borassus flabellifer).
Dengan begitu, lontaraq adalah naskah yang ditulis pada daun tal,
tradisi yang juga dilakukan oleh orang Sunda, Jawa, dan Bali dalam
menulis naskah rontal mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa secara
etimologis kata lontarak terdiri dari dua kata: raung (daun) dan talak (lontar). Kata raung talak mengalami proses evolusi menjadi lontarak.
Ada sebuah lontaraq
yang unik, mirip dengan pita atau kaset audio/video. Teksnya ditulis
satu baris pada daun tal sempit yang digulung, hanya dapat dibaca bila
gulungan diputar balik. Tulisan pada gulungan bergerak di depan mata
pembaca, dari kiri ke kanan. Salah satu lontaraq gulung tersebut adalah La Galigo,
sebuah epos asli masyarakat Bugis, diperkirakan ditulis pada abad
ke-14, masa pra Islam. Karya sastra ini berjumlah 6.000 halaman, dengan
metrum lima suku kata. Latar belakang kisah La Galigo ini berada di Luwu, kerajaan yang dianggap tempat kelahiran masyarakat Bugis. Berikut lontaraq La Galigo yang
digulung pada dua buah poros.
Selain epos La Galigo, tulisan-tulisan kuno Bugis yang lain adalah kronik sejarah (attoriolong), nyanyian upacara keagamaan, hukum, catatan harian, silsilah (lontaraq pangngoriseng), kata bijak (pappaseng), cerita rakyat, dan syair pendek atau elong. Di samping itu, ada pula jenis toloq, yakni syair sejarah-kepahlawanan, di mana kisah kepahlawanan diceritakan dengan puitis, mirip La Galigo.
Tulisan toloq sangata panjang, bisa mencapai ratusan halaman, dicirikan
oleh penggunaan kosa kata kuno, metafora/khiasan, penggunaan matra
delapan sukukata, dan heroik.
Sementara
itu, tulisan yang ditemukan di Mandar kebanyakan berupa naskah hasil
penulisan sejarah, kebiasaan setempat dan pengajaran adat (pappasang), kumpulan syair empat baris (kalindaqdaq), dan lagu asmara tradisional (tikapayo). Ada pun naskah-naskah kuno dari Makassar banyak mengandung peristiwa sejarah, seperti sejarah (patturioloang) Kerajaan Makassar, Gowa, dan Tallo; catatan harian (lontaraq bilang); serta silsilah keluarga.
Rupanya, tradisi catatan harian (lontaraq bilang)
cukup memegang peranan penting dalam budaya tulis Sulawesi Selatan.
Isinya segala peristiwa penting bagi kerajaan. Penulisnya adalah
seseorang yang berpangkat tinggi. Ia menorehkan lidi dari ijuk kasar ke
permukaan rontal.
Selain di lontaraq,
naskah-naskah Sulawesi Selatan banyak ditulis pada kertas—hampir
seluruhnya kertas Eropa. Biasa naskah kertas ini berasal dari abad
ke-18.
Filosofi dan Sejarah Aksara Lontara
Aksara Lontara
(ada yang menyebutnya Lontaraq atau Lontarak) ialah aksara asli
masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan. Sebetulnya
masih ada huruf Makassar Kuno, yang usianya lebih tua dari aksara
Lontara. Namun yang kemudian lestari adalah Lontara. Ada yang
berpendapat, bahwa Lontara ini berbeda dengan aksara-aksara lain di
Indonesia seperti aksara Bali, Jawa, Lampung, Sunda, yang oleh sebagian
besar filolog dikaitkan dengan aksara Pallawa dari India. Aksara Lontara
ini tidak dipengaruhi budaya lain, termasuk india. Namun ada pula yang
berpendapat bahwa aksara ini merupakan turunan dari Pallwa. Selain
aksara sendiri, masyarakat Bugis menggunakan dialek sendiri yang dikenal
dengan “bahasa Ugi”. Sementara itu, suku lainnya di Sulawesi Selatan
yaitu Saqdan Toraja, tak memiliki tradisi menulis, hanya memiliki
tradisi lisan.
Bentuk aksara Lontara, menurut budayawan Prof Mattulada, berasal dari “sulapa eppa wala suji”. Wala berarti “pemisah/pagar/penjaga”, dan suji yang berarti “putri”. Wala suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa,
berarti “empat sisi”, merupakan bentuk mistik kepercayaan
Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, yakni
api-air-angin-tanah. Maka darki itu, bentuk aksara Lontara sendiri
berbentuk segi empat (belah ketupat). Hal ini didasari pemahaman
filosofis kultural masyarakat Makassar bahwa kejadian manusia berasal
dari empat unsur, yaitu butta (tanah), pepek (api), jeknek (air), dan (anging) angin.
Menurut sejarah, aksara Lontara diperkenalkan oleh Sabannarak
atau Syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Ketika
Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng
Manngutungi yang bergelar Karaeng Tumapakrisik Kallonna, Daeng Pamatte
menjabati dua jabatan sekaligus yaitu Sabannarak merangkap Tumailalang
(Menteri Urusan Istana dan Dalam Negeri). Pada waktu itu Karaeng
Tumapakrisik Kallonna memberikan titah kepada Daeng Pamatte untuk
menciptakan aksara yang dapat dipakai untuk tulis-menulis. Pada 1538,
Daeng Pamatte berhasil mengarang aksara Lontara yang terdiri atas 18
huruf dan juga tulisan huruf Makassar Kuno. Akhirnya, aksara Lontara ini
dipermoderen dan bentuknya lebih disederhanakan sehingga jumlah
hurufnya menjadi 19, akibat masuknya pengaruh bahasa Arab.
Sistem Aksara Lontara
Aksara Lontara telah ada sejak abad ke-12. Aksara ini berjumlah 23 huruf (termasuk bunyi konsonan dan vokal a)
yang disusun berdasarkan aturan tersendiri. Dalam sistem aksara ini,
dikenal penanda vokal untuk u, e, o, ae. Berikut tabel aksara Lontara:
Namun, aksara Lontara tidak mengenal hurup atau lambang untuk mematikan hurup misalnya sa menjadi s.
Ketiadaan tanda-mati ini cukup membingungkan bila ingin menuliskan
huruf mati. Juga, di banding aksara-aksara lain, aksara Lontara tak
memiliki semua fonem. Beberapa huruf ditafsirkan secara teoretis dengan
sembilan cara berbeda, dan ini juga kadang-kadang menimbulkan masalah
bagi penafsiran pembaca. Maka dari itu, di masyarakat Bugis dikenal
adanya elong maliung bettuanna, yakni nyanyian dengan makna tersembunyi. Misalnya kata buaja buluq (buaya gunung) merujuk pada macang (harimau). Ejaan macang sama dengan ejaan macca (pintar), yang menjadi makna turunan dari buaja buluq.
Adapted from=
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/988/lontaraq-dan-aksara-lontara
comment=
this text was good. I can tell everyone who read my blog. and also give me more
information about Bugis language ...
0 komentar:
Posting Komentar